Kamis, 21 April 2011

IBNU RUSYD (Pembelaan Kaum Filosof Dari Serangan al-Ghazali)

A. Pendahuluan.
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah dua tokoh dunia filsafat dan tasawuf. Apabila kita bisa memahami posisi mereka. Maka tidak akan ada istilah kontroversi dalam pemikiran mereka. Orang boleh berbeda pandangan tentang siapa al-Ghazali, apakah beliau seorang filosof ataukah seorang sufi? Kalau kita mulai mengkaji al-Ghazali lewat pintu gerbang karyanya “Maqasid
al-Falasifah” atau “Tahafut al-Falasifah” atau lewat ‘Mi’yar al-Ilm”nya, maka kita akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali adalah seorang filosof. Tapi kalau kita masuk kepemikiran al-Ghazali lewat pintu gerbang “Ihya Ulum al-Din” atau kitab “Arba’in” atau juga lewat ‘al-Munqidz min al-Dhalal”, maka kita akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali adalah seorang sufi.
Ibnu Rusyd juga akan dipandang sebagai seorang filosof dengan karya besarnya yang memberikan syarah pada pemikiran Aristoteles dan bukunya berisikan sanggahan dan keritikan atas serangan al-Ghazali terhadap filsafat. Akhirnya terjadi larangan keras untuk mempelajari filsafat di madrasah-madrasah Islam walaupun tanpa mereka sadari mereka pun mempelajarinya.
Begitu pula tasawuf banyak menerima tuduhan-tuduhan yang tak sewajarnya. Banyak alasan yang
disampaikan oleh orang yang tidak suka terhadapnya. Citra heterodok, yang melibatkan doktrin wahdatul wujud, ittihad dan hulul adalah sebab utamanya. Kemudian tuduhan bahwa ajaran tasawuf itu berujung pada kesalehan pribadi tidak menyentuh  kepekaan dan kepedulian  sosial merupakan sebab lain. Belum lagi tuduhan kaum modernis yang menyatakan bahwa praktek-praktek tarekat berubah menjadi penyembahan atau pemuliaan pribadi-pribadi pendiri aliran (colt of personalites) dan beberapa kesan yang bernada minor lainnya. Padahal semua tuduhan itu tidak beralasan (objektif) dan sangat diskriminatif.
Penulis berasumsi bahwa hal itu tidak akan terjadi, jika kita semua  mau masuk secara integral dalam disiplin ilmu tersebut. Begitu juga jadilah seorang sufi apabila ingin memahami tasawuf. Karena sering terjadi miss under standing dalam memahami filsafat dan tasawuf disebabkan penggunaan “kaca mata” dan tolak ukur yang berbeda.
Penulis makalah ini mencoba menggambarkan tentang argumen-argumen al-Ghazali dalam menyerang filsafat dan bantahan-bantahan Ibnu Rusyd untuk membelanya. Seyogyanya, kedua pendekatan kepada alam pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd itu dipadukan, sehingga tidak terasa berat sebelah.

B. Perjalanan Hidup Ibnu Rusyd dan Karya Tulisnya
Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Rusyd lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Keluarganya terkenal alim dalam ilmu Fiqh mazhab Maliki, mazhab resmi negara waktu itu. Ayah dan kakeknya pernah menjadi Kepala Pengadilan di Andalusia. Latar Belakang keagamaan inilah yang memberikan kesempatan  untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi keislaman. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol
Ibnu Rusyd waktu kecilnya mempelajari Ilmu Kalam, seperti yang difahamkan, diuraikan dan dibela oleh aliran Asy’ariyah, pada ulama-ulama negerinya. Kemudian mempelajari fiqih menurut mazhab Maliki dan belajar hadis pada ayahnya sendiri. Kitabnya yang terkenal dalam fiqih ialah “Bidayat al-Mujtahid”. Setelah lanjut usia, ia berhubungan dengan Ibnu Tufail, seorang filosof yang terkenal dengan bukunya “Hayy ibn Yaqdzan”.
Ibnu Rusyd mempelajari filsafat dari sumbernya yang asli, yaitu sumber Yunani. Ia sangat tertarik dengan filsafat tersebut, sehingga ia terpesona oleh Aristoteles dan pikiran-pikirannya yang sangat luar biasa. Ia yakin bahwa Aristo itulah yang dimaksud firman Tuhan “Anuigerah itu ditangan Tuhan diberikan kepada orang yang disukainya” (Ali Imran/3 : 73). Aristo adalah sumber ilmu dan keutamaan dan merupakan akal manusia idam-idaman yang dekat kepada akal universal (akal Tuhan).
Ibnu Rusyd memberikan ulasan terhadap karangan-karangannya. Karena itu ia beri gelar oleh Dante dalam Divina Commedia-nya (Komedi Ketuhanan) sebagai pengulas Aristo (Syarih Aristo). Dalam bidang filsafat Islam ia telah memainkan peranan yang penting dengan kitabnya yang berjudul, “Tahafut al-Tahafut” (keruntuhan kitab Tahafut), yang dimaksudkan sebagai pembelaan filsafat terhadap serangan al-Ghazali dalam kitabnya “Tahafut al-Falasifah” yang berbicara atas nama aliran Asy’ariyah. Ibnu Rusyd sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi golongan-golongan seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Ahli hadis Hasywiyyah (anthropomorphist). Masing-masing mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.
Dengan pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan golongan baru, tetapi ia hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-keprcayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang, bagaimanapun juga tingkat kecerdasannya dan hendak menghapuskan atau mengurangi sebab-sebab perpecahan.
Sebagai orang menganggap bahwa filsafat yang sebenarnya ialah yang berlawanan dengan kepercayaan-kepercayaan dan nash-nash agama. Anggapan ini, bagi Ibnu Rusyd, adalah salah, disebabkan karena mereka tidak mempunyai pedoman dalam menakwilkan nash-nash agama, yang disebut “Mutsyabihat”. Dengan perkataan lain karena tidak mempunyai metode dan hakekat filsafat yang memungkinkannya dipertemukannya dengan kepercayaan-kepercayaan Islam. Cara mempertemukan ialah dengan jalan menafsirkan kepercayaan-kepercayaan Islam dengan tafsirannya yang diterima dan diharuskan akal. Kalau pertemuan agama dan filsafat, terutama filsafat, Aristo, sudah dapat dibuktikan kebenaran-kebenarannya dengan alasan-alasan logika, maka pertentangan antara kaum muslimin sendiri biasa bisa dihapuskan.
Akan tetapi, menurut Ibnu Rusyd,  pikiran-pikiran/pendapat-pendapat untuk mempertemukan agama dan filsafat tidak perlu diberitahukan (dikemukakan) kecuali kepada orang-orang tertentu, yang sanggup menerimanya. Sebagai filosof, pengaruhnya besar di kalangan Istana tidak disenagi oleh kaum ulama  dan kaum fuqaha’. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, Sultan berhajat pada sokongan kaum ulama dan kaum fuqaha’. Keadaan berbalik dan Ibnu Rusyd dengan mudah dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha’. Ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena di daerah Cordova.
Dengan timbulnya pengaruh kaum ulama dan fuqaha’ ini, kaum filosof  mulai tidak disenangi lagi dan buku-buku mereka dibakar. Ibnu Rusyd sendiri kemudian diasingkan. Tapi aib yang diderita oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Dan al-Mansur, sekembalinya dari Marrakusy, mengampuni dan memanggilnya kembali. Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan meninggal pada tahun 595 H/1198 M. Adapun karya tulis yang telah dibuat oleh Ibnu Rusyd, diantaranya adalah:
- Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid fi al-Fiqh.
- Kitab al-Kulliat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
- Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, kedua buku tersebut (no. 4 dan 5) merupakan kajian teologi, yang mencoba mempertemukan agama dan filsafat.
- Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
- Thahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap kitab al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas.
- Dhamimah li Masalah al-Qadim.

C. Pembelaan Ibnu Rusyd  Dari Serangan Pemikiran Filsafat al-Ghazali
Kita dengan mudah mengambil pokok-pokok pemikiran filosofis  al-Ghazali menyanggah teori metafisika Ibnu Sina. Hal itu tercantum dalam 20 persoalan yang dikritiknya dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” Tiga butir persoalan yang menjadi sasaran kritik tajamnya (memvonis kafir) adalah:
1.      Bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar dan tidak mengetahui hal-hal yang kecil.
2.      Bahwa alam semesta ini adalah qadim atau kekal tanpa permulaan.
3.      Bahwa diakhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia bukan jasadnya.
Menurut al-Ghazali bahwa pendapat alam tidak bermula tak dapat diterima bagi kaum teologi, karena menurut teologi Tuhan adalah pencipta, dan dimaksud pencipta ialah menciptakan sesuatu dan “tiada” (cretio ex nihilo). Kalau alam dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Kemudian menurutnya Allah mengetahui segala sesuatu sampai hal-hal yang terkecil, karena Alquran banyak menjelaskan hal tersebut. Demikian juga pembangkitan jasmani jelas disebutkan dalam Alquran
Al-Ghazali mengatakan bahwa bahaya filsafat terletak pada filsafat ketuhanan (metafisika) yang ingin menentang supermasi agama secara langsung dan ingin melepaskan pengaruh agama. Sehingga filsafatlah yang tertinggi sedangkan teks agama dianggap rendah. Dia tidak menyibukkan diri, pikiran dan penanya untuk membantah pendapat-pendapat golongan materialisme dan naturalisme dari kalangan filosof yang mengingkari masalah ketuhanan atau akhirat, karena masalah mereka sudah jelas. Setiap Muslim tidak mungkin menerima pemikiran mereka, karena menentang pokok ajaran Islam secara jelas.
Ketika menyerang filsafat dia memberikan beberapa kriteria, yaitu:
1.      Bagian yang harus dikafirkan,
2.      Bagian filsafat yang dianggap bid’ah, dan
3.      Bagian yang tidak harus diingkari sama sekali
Al-Ghazali tidak ingin menghancurkan filsafat untuk membangun suatu teori atau aliran khusus filsafat. Sebaliknya ia ingin menghancurkan filsafat guna menegakkan, mendukung atau menghidupkan ilmu-ilmu agama. Melalui logika dan filsafat itu sendiri, akal sebagai satu-satunya pijakan tanpa petunjuk wahyu, hanya akan membawa manusia pada kebingungan dalam pertentangan yang tiada hentinya.
Tidak adil rasanya kalau menuduh al-Ghazali – akibat serangannya terhadap filsafat – bahwa ia telah menentang dan mengingkari peranan akal. Hal ini sering menjadi kesimpulan para peneliti tentang al-Ghazali yang tergesa-gesa menarik konklusi. Lalu mereka menyatakan bahwa dengan kitab “Tahafut          al-Falasifah” al-Ghazali telah menghancurkan kekuatan akal. Sebenarnya al-Ghazali menjunjung tinggi akal kritis yang bebas, mengalahkan akal yang dipenuhi taklid yang senantiasa menerima pendapat para tokoh tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu. Meninggalkan akal yang bebas dalam pandangannya berarti juga meninggikan keimanan. Menurutnya dalam Islam tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu.]
Namun masyarakat muslim menanggapi secara keliru terhadap serangan al-Ghazali terhadap filsafat tersebut. DR. Amin Abdulllah pernah memberikan ilustrasi tentang sikap orang muslim terhadap ajaran filsafat, dengan pandangan sebelah mata bahkan banyak yang menutup mata sama sekali . Dia mengibaratkan seperti orang melihat hutan yang tertutup oleh sebatang pohon. Pohon yang dimaksud adalam argumen al-Ghazali yang menyerang filsafat, sedang hutannya adalah dunia filsafat itu sendiri. Dikira bahwa filsafat itu cuma sebatas pada metafisika. Sehingga argumen metafisika filsafat diserang oleh al-Ghazali, maka tumbanglah dunia filsafat itu pada umumnya.
Uraian al-Ghazali tentang hubungan sebab akibat (causality) dirasakan oleh banyak pihak sangat controversial, terutama dalam kaitannya dengan pembentukan etos ilmu – bukan dalam kaitannya dengan hakikat kausalitas secara metafisik. Hukum kausalitas oleh al-Ghazali diserahkan kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Manusia tidak boleh mengatakan bahwa “banyak anak akan berakibat pada kelanjutan pendidikan anak, ekonomi dan kesejahteraan keluarga, dan sebagainya”, karena hal itu jika diyakini, dianggap akan menegaskan kekuasaan Tuhan dalam memberikan rezeki. Sedang Tuhan dalam memberi rezeki tidak terikat dengan perhitungan logis-ekonomis manusia.]
Menurut penulis, argumen ini erat kaitannya dengan keinginan    al-Ghazali untuk mempertahankan konsepsi “mu’jizat” secara tradisional dan “kekuasaan absolut Tuhan”. Tuhan dapat dengan mudah merubah tongkat menjadi ular tanpa harus tunduk pada aturan logika dan aturan hukum sebab akibat. Sayangnya dia tidak memberikan penjelasan logis tentang argumen tersebut.
Kaum modernis akan mengatakan bahwa al-Ghazali masih bersiteguh dalam dunia metafisika-spekulatif, sedang orang lain sudah turun ke bumi mencari rumus-rumus hukum sebab-akibat tersebut, tanpa mengurangi arti metafisika.
Secara kongkrit dapat digambarkan seperti berikut: “Ketika dalam kehidupan sehari-hari kita melihat buah kelapa selalu jatuh ke bawah, al-Ghazali akan bilang bahwa hal itu adalah “Sunnatullah” dan berhenti sampai disitu saja. Pertanyaan teologis-metafisis seperti itu sepenuhnya benar, tapi karena hanya terhenti sampai disitu saja maka pernyataan tadi terasa kontroversial bila dihadapkan kepada aturan logika dan kausalitas. Kalau saja al-Ghazali memotivisir orang untuk merumuskan jawaban tentang peristiwa tersebut, dengan disertai uji coba yang tak kenal lelah, maka etos ilmu pengetahuan akan tumbuh subur dengan sendirinya.
Mengenai filsafat kekekalan alam, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikan alam dari “tiada’ tidak berdasar pada argumen  syari’at yang kuat. Tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari wujud-Nya, dan kemudian barulah alam dijadikan. Menurutnya ayat-ayat Alquran mengatakan bahwa alam dijadikan bukanlah dari “tiada”, tetapi dari sesuatu yang telah ada sebelum alam mempunyai wujud. Oleh karena itu Ibnu Rusyd berpegang dengan ayat 48 surah Ibrahim, menurutnya bahwa alam itu betul diciptakan, tetapi diciptakan dalam penciptaan terus menerus. Dengan kata lain bahwa alam itu kekal.
Tentang persoalan kedua, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham, karena tidak pernah kaum filosuf mengatakan yang demikian. Menurutnya kaum filosof mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi dalam alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manuisa mengambil bentuk effek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi terwujudnya perincian.

 Mengenai soal ketiga, kebangkitan jasmani tidak ada dan yang ada hanyalah kebangkitan rohani, Ibnu Rusyd menuduh al-Ghazali mengatakan       hal-hal yang bertentangan. Bukunya “Tahafut al-Falasifah” mengatakan bahwa tidak ada orang Islam yang berpendapat bahwa pembangkitan akan terjadi hanya bentuk rohani. Tetapi dalam buku lain al-Ghazali menulis bahwa bagi kaum sufi pembangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, tidak dalam bentuk jasmani. Dengan demikian sebenarnya tidak ada konsensus mengenai pembangkitan hari kiamat, baik dalam bentuk jasmani maupun dalam bentuk rohani. Oleh karena itu kaum filosof yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada tak dapat dikafirkan.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa hanya bagi orang awam persoalan pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik.
Dalam sejarah pemikiran Islam, kita jumpai lembaran-lembaran hitam, yakni terjadinya diskriminasi terhadap perkembangan filsafat. Begitu pula yang dialami Ibnu Rusyd. Khalifah Andaludia, yaitu al-Manshur ibn Abu Ya’qub dengan usulan fuqaha telah memerintahkan untuk menghakimi dan membakar buku-buku Ibnu Rusyd yang ada di wilayah Andalusia dan Maroko. Karena fikiran filsafat diangga sebagai racun agama.
Karena Ibnu Rusyd berusaha membuktikan kebenaran Allah melalui hukum kausalitas, yang tidak bias diterima kaum fuqaha, maka terjadilah tuduhan kontroversial terhadap pemikirannya. Menurutnya tidak ada sesuatu yang ada tanpa sebab. Semua sebab beraturan hingga Sebab Pertama, yakni penciptaan alam semesta, atau sebab penciptaan yang selalu bergerak dan terus menerus berganti Menanggapi tuduhan tersebut, maka Ibnu Rusyd mencoba meyakinkan bahwa warisan pemikiran Yunani tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Bahkan kemungkinan untuk menggabungkan antara keduanya sangat besar. Ibnu Ruysd berkata: “Sesungguhnya hakikat kebenaran itu hanya satu, manusialah yang menggambarkan bentuknya bermacam-macam”.
 D. Kesimpulan
Untuk mendapatkan pemahaman tentang pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd secara objektif, maka kita haruslah menggunakan pola pikir dan orientasi yang sama, sebagaimana yang mereka gunakan dan kehendaki. Jadi, kalau buku-buku yang menjadi referensi utama kita saja selalu berusaha apresiatif terhadap kondisi-kondisi yang meliputi obyeknya, maka alangkah baiknya kila kita belajar dari hal tersebut, sehingga Islam yang disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin betul-betul terasa hadir dan “menyapa” setiap umat.

Sabtu, 16 April 2011

Definition of Indonesian Muslim Ummah

by : Abdul Maqosith Ghozali

One simple question is this: how do we define Indonesian Muslim community, or Ummah? From my point of view, there are four definitions which could be used to define the Indonesian Muslim Ummah. First, the Muslim Ummah could include those with ID cards indicating that they are adherents of Islam. If we take this fact indicator at face value, then Indonesia’s Muslim community includes the vast majority of Indonesia’s populace. Statistical data signals that approximately 87% of the inhabitants of Indonesia (circa 201 million people) embrace Islam as their faith. This figure also includes the Ahmadis, However, if we were to exclude the Ahmadi community from the Islamic Ummah (they are regarded as deviants by many Muslims), the number of Muslims would certainly decrease, though not much.
Second, the Muslim Ummah could cover only those who in faithful observance of Muslim religious practices. For example: praying five times daily, fasting during the holy month of Ramadan, giving alms (zakat), and performing a pilgrimage (hajj) for those who can afford it. If these criteria are taken as the standard for judging whether one is a Muslim, then the Muslim population of Indonesia decreases significantly. Many people have chosen Islam as their religion on their ID cards, although they are not actively practicing Islam’s obligatory religious rituals in their daily lives. An anthropologist, Clifford Geertz, calls them ‘abangan Muslim[s]’, which means ‘nominal Muslim[s]’. In the political arena, these nominal Muslims do not have the psychological or ideological bonds which push them towards Islamic political parties, like the Welfare and Justice Party/PKS, the United Development Party/PPP, the National Awakening Party/PKB, and the National Mandate Party/PAN. Some of them would rather affiliate themselves with secular-nationalist political parties, like the Indonesian Democratic Party of Struggle/PDI Perjuangan.
Third, the Indonesian Ummah could mean only those who faithfully observe Islam’s obligatory rituals while also understanding the core principles of Islamic teaching. They are quite familiar with Islamic dogma and thought, and the history of Islamic civilization. This third group is known as Muslim santri (pious, practicing Muslims). They are typically alumni of pesantren (Islamic traditional schools) as well as Institutions of Islamic Higher Education (PTAI). In terms of organization, they are involved into Islamic religious organizations: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan Al-Washliyah. By this definition, the size of the Indonesian Muslim community dwindles from hundreds of million to tens of millions.
Fourth and finally, the Indonesian Ummah might only cover those who practice Islamic ritual, understand little bit about Islamic principles, and also fight for the establishment of an Islamic state, or caliphate, and for formal adoption of Islamic Sharia law into the legal systems of all states with substantial Muslim communities. Unlike Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah which have accepted Pancasila and UUD 1945 as the constitutional foundations of the Indonesian state, this last group attempts to make al-Qur’an the bedrock upon which the state is built, using Qur’anic verse as the source for law. Based on this definition, the so-called Indonesian Muslim Ummah would be number only five million or so. In terms of organization, they are involved in Islamic organizations such as Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), he Islamic Defender Front (FPI), the Indonesian Mujahedeen Council (MMI), and other small Islamic organizations.
This explanation shows that it as difficult to speak in the name of the Indonesian Muslim Ummah as it is to define exactly who or what the Indonesian Muslim Ummah actually is. Therefore, when Muslim leaders speak in the name of the Muslim Ummah, they are in fact unable to truly represent the diversity inherent in the Indonesian Muslim community. They will never be able to speak as though they have a mandate to represent the interests of the whole of Indonesia’s Muslims. They are better off speaking for their own limited interests, or for those of the limited groups which they represent.
This article is edited by Christian Kolbe