Kamis, 21 April 2011

IBNU RUSYD (Pembelaan Kaum Filosof Dari Serangan al-Ghazali)

A. Pendahuluan.
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah dua tokoh dunia filsafat dan tasawuf. Apabila kita bisa memahami posisi mereka. Maka tidak akan ada istilah kontroversi dalam pemikiran mereka. Orang boleh berbeda pandangan tentang siapa al-Ghazali, apakah beliau seorang filosof ataukah seorang sufi? Kalau kita mulai mengkaji al-Ghazali lewat pintu gerbang karyanya “Maqasid
al-Falasifah” atau “Tahafut al-Falasifah” atau lewat ‘Mi’yar al-Ilm”nya, maka kita akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali adalah seorang filosof. Tapi kalau kita masuk kepemikiran al-Ghazali lewat pintu gerbang “Ihya Ulum al-Din” atau kitab “Arba’in” atau juga lewat ‘al-Munqidz min al-Dhalal”, maka kita akan berkesimpulan bahwa al-Ghazali adalah seorang sufi.
Ibnu Rusyd juga akan dipandang sebagai seorang filosof dengan karya besarnya yang memberikan syarah pada pemikiran Aristoteles dan bukunya berisikan sanggahan dan keritikan atas serangan al-Ghazali terhadap filsafat. Akhirnya terjadi larangan keras untuk mempelajari filsafat di madrasah-madrasah Islam walaupun tanpa mereka sadari mereka pun mempelajarinya.
Begitu pula tasawuf banyak menerima tuduhan-tuduhan yang tak sewajarnya. Banyak alasan yang
disampaikan oleh orang yang tidak suka terhadapnya. Citra heterodok, yang melibatkan doktrin wahdatul wujud, ittihad dan hulul adalah sebab utamanya. Kemudian tuduhan bahwa ajaran tasawuf itu berujung pada kesalehan pribadi tidak menyentuh  kepekaan dan kepedulian  sosial merupakan sebab lain. Belum lagi tuduhan kaum modernis yang menyatakan bahwa praktek-praktek tarekat berubah menjadi penyembahan atau pemuliaan pribadi-pribadi pendiri aliran (colt of personalites) dan beberapa kesan yang bernada minor lainnya. Padahal semua tuduhan itu tidak beralasan (objektif) dan sangat diskriminatif.
Penulis berasumsi bahwa hal itu tidak akan terjadi, jika kita semua  mau masuk secara integral dalam disiplin ilmu tersebut. Begitu juga jadilah seorang sufi apabila ingin memahami tasawuf. Karena sering terjadi miss under standing dalam memahami filsafat dan tasawuf disebabkan penggunaan “kaca mata” dan tolak ukur yang berbeda.
Penulis makalah ini mencoba menggambarkan tentang argumen-argumen al-Ghazali dalam menyerang filsafat dan bantahan-bantahan Ibnu Rusyd untuk membelanya. Seyogyanya, kedua pendekatan kepada alam pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd itu dipadukan, sehingga tidak terasa berat sebelah.

B. Perjalanan Hidup Ibnu Rusyd dan Karya Tulisnya
Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Rusyd lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Keluarganya terkenal alim dalam ilmu Fiqh mazhab Maliki, mazhab resmi negara waktu itu. Ayah dan kakeknya pernah menjadi Kepala Pengadilan di Andalusia. Latar Belakang keagamaan inilah yang memberikan kesempatan  untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi keislaman. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol
Ibnu Rusyd waktu kecilnya mempelajari Ilmu Kalam, seperti yang difahamkan, diuraikan dan dibela oleh aliran Asy’ariyah, pada ulama-ulama negerinya. Kemudian mempelajari fiqih menurut mazhab Maliki dan belajar hadis pada ayahnya sendiri. Kitabnya yang terkenal dalam fiqih ialah “Bidayat al-Mujtahid”. Setelah lanjut usia, ia berhubungan dengan Ibnu Tufail, seorang filosof yang terkenal dengan bukunya “Hayy ibn Yaqdzan”.
Ibnu Rusyd mempelajari filsafat dari sumbernya yang asli, yaitu sumber Yunani. Ia sangat tertarik dengan filsafat tersebut, sehingga ia terpesona oleh Aristoteles dan pikiran-pikirannya yang sangat luar biasa. Ia yakin bahwa Aristo itulah yang dimaksud firman Tuhan “Anuigerah itu ditangan Tuhan diberikan kepada orang yang disukainya” (Ali Imran/3 : 73). Aristo adalah sumber ilmu dan keutamaan dan merupakan akal manusia idam-idaman yang dekat kepada akal universal (akal Tuhan).
Ibnu Rusyd memberikan ulasan terhadap karangan-karangannya. Karena itu ia beri gelar oleh Dante dalam Divina Commedia-nya (Komedi Ketuhanan) sebagai pengulas Aristo (Syarih Aristo). Dalam bidang filsafat Islam ia telah memainkan peranan yang penting dengan kitabnya yang berjudul, “Tahafut al-Tahafut” (keruntuhan kitab Tahafut), yang dimaksudkan sebagai pembelaan filsafat terhadap serangan al-Ghazali dalam kitabnya “Tahafut al-Falasifah” yang berbicara atas nama aliran Asy’ariyah. Ibnu Rusyd sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi golongan-golongan seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Ahli hadis Hasywiyyah (anthropomorphist). Masing-masing mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.
Dengan pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan golongan baru, tetapi ia hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-keprcayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang, bagaimanapun juga tingkat kecerdasannya dan hendak menghapuskan atau mengurangi sebab-sebab perpecahan.
Sebagai orang menganggap bahwa filsafat yang sebenarnya ialah yang berlawanan dengan kepercayaan-kepercayaan dan nash-nash agama. Anggapan ini, bagi Ibnu Rusyd, adalah salah, disebabkan karena mereka tidak mempunyai pedoman dalam menakwilkan nash-nash agama, yang disebut “Mutsyabihat”. Dengan perkataan lain karena tidak mempunyai metode dan hakekat filsafat yang memungkinkannya dipertemukannya dengan kepercayaan-kepercayaan Islam. Cara mempertemukan ialah dengan jalan menafsirkan kepercayaan-kepercayaan Islam dengan tafsirannya yang diterima dan diharuskan akal. Kalau pertemuan agama dan filsafat, terutama filsafat, Aristo, sudah dapat dibuktikan kebenaran-kebenarannya dengan alasan-alasan logika, maka pertentangan antara kaum muslimin sendiri biasa bisa dihapuskan.
Akan tetapi, menurut Ibnu Rusyd,  pikiran-pikiran/pendapat-pendapat untuk mempertemukan agama dan filsafat tidak perlu diberitahukan (dikemukakan) kecuali kepada orang-orang tertentu, yang sanggup menerimanya. Sebagai filosof, pengaruhnya besar di kalangan Istana tidak disenagi oleh kaum ulama  dan kaum fuqaha’. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, Sultan berhajat pada sokongan kaum ulama dan kaum fuqaha’. Keadaan berbalik dan Ibnu Rusyd dengan mudah dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha’. Ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena di daerah Cordova.
Dengan timbulnya pengaruh kaum ulama dan fuqaha’ ini, kaum filosof  mulai tidak disenangi lagi dan buku-buku mereka dibakar. Ibnu Rusyd sendiri kemudian diasingkan. Tapi aib yang diderita oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Dan al-Mansur, sekembalinya dari Marrakusy, mengampuni dan memanggilnya kembali. Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan meninggal pada tahun 595 H/1198 M. Adapun karya tulis yang telah dibuat oleh Ibnu Rusyd, diantaranya adalah:
- Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid fi al-Fiqh.
- Kitab al-Kulliat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
- Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, kedua buku tersebut (no. 4 dan 5) merupakan kajian teologi, yang mencoba mempertemukan agama dan filsafat.
- Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
- Thahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap kitab al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas.
- Dhamimah li Masalah al-Qadim.

C. Pembelaan Ibnu Rusyd  Dari Serangan Pemikiran Filsafat al-Ghazali
Kita dengan mudah mengambil pokok-pokok pemikiran filosofis  al-Ghazali menyanggah teori metafisika Ibnu Sina. Hal itu tercantum dalam 20 persoalan yang dikritiknya dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” Tiga butir persoalan yang menjadi sasaran kritik tajamnya (memvonis kafir) adalah:
1.      Bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar dan tidak mengetahui hal-hal yang kecil.
2.      Bahwa alam semesta ini adalah qadim atau kekal tanpa permulaan.
3.      Bahwa diakhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia bukan jasadnya.
Menurut al-Ghazali bahwa pendapat alam tidak bermula tak dapat diterima bagi kaum teologi, karena menurut teologi Tuhan adalah pencipta, dan dimaksud pencipta ialah menciptakan sesuatu dan “tiada” (cretio ex nihilo). Kalau alam dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Kemudian menurutnya Allah mengetahui segala sesuatu sampai hal-hal yang terkecil, karena Alquran banyak menjelaskan hal tersebut. Demikian juga pembangkitan jasmani jelas disebutkan dalam Alquran
Al-Ghazali mengatakan bahwa bahaya filsafat terletak pada filsafat ketuhanan (metafisika) yang ingin menentang supermasi agama secara langsung dan ingin melepaskan pengaruh agama. Sehingga filsafatlah yang tertinggi sedangkan teks agama dianggap rendah. Dia tidak menyibukkan diri, pikiran dan penanya untuk membantah pendapat-pendapat golongan materialisme dan naturalisme dari kalangan filosof yang mengingkari masalah ketuhanan atau akhirat, karena masalah mereka sudah jelas. Setiap Muslim tidak mungkin menerima pemikiran mereka, karena menentang pokok ajaran Islam secara jelas.
Ketika menyerang filsafat dia memberikan beberapa kriteria, yaitu:
1.      Bagian yang harus dikafirkan,
2.      Bagian filsafat yang dianggap bid’ah, dan
3.      Bagian yang tidak harus diingkari sama sekali
Al-Ghazali tidak ingin menghancurkan filsafat untuk membangun suatu teori atau aliran khusus filsafat. Sebaliknya ia ingin menghancurkan filsafat guna menegakkan, mendukung atau menghidupkan ilmu-ilmu agama. Melalui logika dan filsafat itu sendiri, akal sebagai satu-satunya pijakan tanpa petunjuk wahyu, hanya akan membawa manusia pada kebingungan dalam pertentangan yang tiada hentinya.
Tidak adil rasanya kalau menuduh al-Ghazali – akibat serangannya terhadap filsafat – bahwa ia telah menentang dan mengingkari peranan akal. Hal ini sering menjadi kesimpulan para peneliti tentang al-Ghazali yang tergesa-gesa menarik konklusi. Lalu mereka menyatakan bahwa dengan kitab “Tahafut          al-Falasifah” al-Ghazali telah menghancurkan kekuatan akal. Sebenarnya al-Ghazali menjunjung tinggi akal kritis yang bebas, mengalahkan akal yang dipenuhi taklid yang senantiasa menerima pendapat para tokoh tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu. Meninggalkan akal yang bebas dalam pandangannya berarti juga meninggikan keimanan. Menurutnya dalam Islam tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu.]
Namun masyarakat muslim menanggapi secara keliru terhadap serangan al-Ghazali terhadap filsafat tersebut. DR. Amin Abdulllah pernah memberikan ilustrasi tentang sikap orang muslim terhadap ajaran filsafat, dengan pandangan sebelah mata bahkan banyak yang menutup mata sama sekali . Dia mengibaratkan seperti orang melihat hutan yang tertutup oleh sebatang pohon. Pohon yang dimaksud adalam argumen al-Ghazali yang menyerang filsafat, sedang hutannya adalah dunia filsafat itu sendiri. Dikira bahwa filsafat itu cuma sebatas pada metafisika. Sehingga argumen metafisika filsafat diserang oleh al-Ghazali, maka tumbanglah dunia filsafat itu pada umumnya.
Uraian al-Ghazali tentang hubungan sebab akibat (causality) dirasakan oleh banyak pihak sangat controversial, terutama dalam kaitannya dengan pembentukan etos ilmu – bukan dalam kaitannya dengan hakikat kausalitas secara metafisik. Hukum kausalitas oleh al-Ghazali diserahkan kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Manusia tidak boleh mengatakan bahwa “banyak anak akan berakibat pada kelanjutan pendidikan anak, ekonomi dan kesejahteraan keluarga, dan sebagainya”, karena hal itu jika diyakini, dianggap akan menegaskan kekuasaan Tuhan dalam memberikan rezeki. Sedang Tuhan dalam memberi rezeki tidak terikat dengan perhitungan logis-ekonomis manusia.]
Menurut penulis, argumen ini erat kaitannya dengan keinginan    al-Ghazali untuk mempertahankan konsepsi “mu’jizat” secara tradisional dan “kekuasaan absolut Tuhan”. Tuhan dapat dengan mudah merubah tongkat menjadi ular tanpa harus tunduk pada aturan logika dan aturan hukum sebab akibat. Sayangnya dia tidak memberikan penjelasan logis tentang argumen tersebut.
Kaum modernis akan mengatakan bahwa al-Ghazali masih bersiteguh dalam dunia metafisika-spekulatif, sedang orang lain sudah turun ke bumi mencari rumus-rumus hukum sebab-akibat tersebut, tanpa mengurangi arti metafisika.
Secara kongkrit dapat digambarkan seperti berikut: “Ketika dalam kehidupan sehari-hari kita melihat buah kelapa selalu jatuh ke bawah, al-Ghazali akan bilang bahwa hal itu adalah “Sunnatullah” dan berhenti sampai disitu saja. Pertanyaan teologis-metafisis seperti itu sepenuhnya benar, tapi karena hanya terhenti sampai disitu saja maka pernyataan tadi terasa kontroversial bila dihadapkan kepada aturan logika dan kausalitas. Kalau saja al-Ghazali memotivisir orang untuk merumuskan jawaban tentang peristiwa tersebut, dengan disertai uji coba yang tak kenal lelah, maka etos ilmu pengetahuan akan tumbuh subur dengan sendirinya.
Mengenai filsafat kekekalan alam, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikan alam dari “tiada’ tidak berdasar pada argumen  syari’at yang kuat. Tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari wujud-Nya, dan kemudian barulah alam dijadikan. Menurutnya ayat-ayat Alquran mengatakan bahwa alam dijadikan bukanlah dari “tiada”, tetapi dari sesuatu yang telah ada sebelum alam mempunyai wujud. Oleh karena itu Ibnu Rusyd berpegang dengan ayat 48 surah Ibrahim, menurutnya bahwa alam itu betul diciptakan, tetapi diciptakan dalam penciptaan terus menerus. Dengan kata lain bahwa alam itu kekal.
Tentang persoalan kedua, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham, karena tidak pernah kaum filosuf mengatakan yang demikian. Menurutnya kaum filosof mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi dalam alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manuisa mengambil bentuk effek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi terwujudnya perincian.

 Mengenai soal ketiga, kebangkitan jasmani tidak ada dan yang ada hanyalah kebangkitan rohani, Ibnu Rusyd menuduh al-Ghazali mengatakan       hal-hal yang bertentangan. Bukunya “Tahafut al-Falasifah” mengatakan bahwa tidak ada orang Islam yang berpendapat bahwa pembangkitan akan terjadi hanya bentuk rohani. Tetapi dalam buku lain al-Ghazali menulis bahwa bagi kaum sufi pembangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, tidak dalam bentuk jasmani. Dengan demikian sebenarnya tidak ada konsensus mengenai pembangkitan hari kiamat, baik dalam bentuk jasmani maupun dalam bentuk rohani. Oleh karena itu kaum filosof yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada tak dapat dikafirkan.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa hanya bagi orang awam persoalan pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik.
Dalam sejarah pemikiran Islam, kita jumpai lembaran-lembaran hitam, yakni terjadinya diskriminasi terhadap perkembangan filsafat. Begitu pula yang dialami Ibnu Rusyd. Khalifah Andaludia, yaitu al-Manshur ibn Abu Ya’qub dengan usulan fuqaha telah memerintahkan untuk menghakimi dan membakar buku-buku Ibnu Rusyd yang ada di wilayah Andalusia dan Maroko. Karena fikiran filsafat diangga sebagai racun agama.
Karena Ibnu Rusyd berusaha membuktikan kebenaran Allah melalui hukum kausalitas, yang tidak bias diterima kaum fuqaha, maka terjadilah tuduhan kontroversial terhadap pemikirannya. Menurutnya tidak ada sesuatu yang ada tanpa sebab. Semua sebab beraturan hingga Sebab Pertama, yakni penciptaan alam semesta, atau sebab penciptaan yang selalu bergerak dan terus menerus berganti Menanggapi tuduhan tersebut, maka Ibnu Rusyd mencoba meyakinkan bahwa warisan pemikiran Yunani tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Bahkan kemungkinan untuk menggabungkan antara keduanya sangat besar. Ibnu Ruysd berkata: “Sesungguhnya hakikat kebenaran itu hanya satu, manusialah yang menggambarkan bentuknya bermacam-macam”.
 D. Kesimpulan
Untuk mendapatkan pemahaman tentang pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd secara objektif, maka kita haruslah menggunakan pola pikir dan orientasi yang sama, sebagaimana yang mereka gunakan dan kehendaki. Jadi, kalau buku-buku yang menjadi referensi utama kita saja selalu berusaha apresiatif terhadap kondisi-kondisi yang meliputi obyeknya, maka alangkah baiknya kila kita belajar dari hal tersebut, sehingga Islam yang disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin betul-betul terasa hadir dan “menyapa” setiap umat.

Sabtu, 16 April 2011

Definition of Indonesian Muslim Ummah

by : Abdul Maqosith Ghozali

One simple question is this: how do we define Indonesian Muslim community, or Ummah? From my point of view, there are four definitions which could be used to define the Indonesian Muslim Ummah. First, the Muslim Ummah could include those with ID cards indicating that they are adherents of Islam. If we take this fact indicator at face value, then Indonesia’s Muslim community includes the vast majority of Indonesia’s populace. Statistical data signals that approximately 87% of the inhabitants of Indonesia (circa 201 million people) embrace Islam as their faith. This figure also includes the Ahmadis, However, if we were to exclude the Ahmadi community from the Islamic Ummah (they are regarded as deviants by many Muslims), the number of Muslims would certainly decrease, though not much.
Second, the Muslim Ummah could cover only those who in faithful observance of Muslim religious practices. For example: praying five times daily, fasting during the holy month of Ramadan, giving alms (zakat), and performing a pilgrimage (hajj) for those who can afford it. If these criteria are taken as the standard for judging whether one is a Muslim, then the Muslim population of Indonesia decreases significantly. Many people have chosen Islam as their religion on their ID cards, although they are not actively practicing Islam’s obligatory religious rituals in their daily lives. An anthropologist, Clifford Geertz, calls them ‘abangan Muslim[s]’, which means ‘nominal Muslim[s]’. In the political arena, these nominal Muslims do not have the psychological or ideological bonds which push them towards Islamic political parties, like the Welfare and Justice Party/PKS, the United Development Party/PPP, the National Awakening Party/PKB, and the National Mandate Party/PAN. Some of them would rather affiliate themselves with secular-nationalist political parties, like the Indonesian Democratic Party of Struggle/PDI Perjuangan.
Third, the Indonesian Ummah could mean only those who faithfully observe Islam’s obligatory rituals while also understanding the core principles of Islamic teaching. They are quite familiar with Islamic dogma and thought, and the history of Islamic civilization. This third group is known as Muslim santri (pious, practicing Muslims). They are typically alumni of pesantren (Islamic traditional schools) as well as Institutions of Islamic Higher Education (PTAI). In terms of organization, they are involved into Islamic religious organizations: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan Al-Washliyah. By this definition, the size of the Indonesian Muslim community dwindles from hundreds of million to tens of millions.
Fourth and finally, the Indonesian Ummah might only cover those who practice Islamic ritual, understand little bit about Islamic principles, and also fight for the establishment of an Islamic state, or caliphate, and for formal adoption of Islamic Sharia law into the legal systems of all states with substantial Muslim communities. Unlike Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah which have accepted Pancasila and UUD 1945 as the constitutional foundations of the Indonesian state, this last group attempts to make al-Qur’an the bedrock upon which the state is built, using Qur’anic verse as the source for law. Based on this definition, the so-called Indonesian Muslim Ummah would be number only five million or so. In terms of organization, they are involved in Islamic organizations such as Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), he Islamic Defender Front (FPI), the Indonesian Mujahedeen Council (MMI), and other small Islamic organizations.
This explanation shows that it as difficult to speak in the name of the Indonesian Muslim Ummah as it is to define exactly who or what the Indonesian Muslim Ummah actually is. Therefore, when Muslim leaders speak in the name of the Muslim Ummah, they are in fact unable to truly represent the diversity inherent in the Indonesian Muslim community. They will never be able to speak as though they have a mandate to represent the interests of the whole of Indonesia’s Muslims. They are better off speaking for their own limited interests, or for those of the limited groups which they represent.
This article is edited by Christian Kolbe

God, Science, and Religion: Wrestling with Faith

by: Haikal Kurniawan

This could well be one of my toughest and heaviest personal struggles. A confrontation between spiritual and rational values that rages inside me. Some may experience a similar collision of the mind. It was a long and drawn out battle for me. At times, my sense of spirituality will emerge triumphant, turning me into a God-fearing individual who dreads over life after death. Terrified of death and what becomes of me next. At times rationality prevails, and I seem to have misplaced God, transforming me into a religious skeptic where everything supernatural is erased from my mind.
I stop to ponder, have I lost my mind? Am I still thinking logically? Or is this simply a hallucination? Scientists, notably those well-versed in psychology may assert that I am indeed hallucinating. Probably because my mind is saturated with religious values that are ritualistic, dogmatic and irrational in nature, hence my commonsense appears to rebel for not using it to understand religious values, doctrines and rituals in a rational and critical manner. On the other hand, I harbor some measure of fear in me lest I act rationally towards these religious values and doctrines due to profound dogmatic religious influences shaping my thoughts.
I come from a religiously devout family where the majority is Muslims (or practically all are). I attended an Islamic school from morning to noon. I was taught everything there is to know about Islam. Its history, miracles, and even its grandeur in comparison to other religions. Islam is the true religion and certain denominations within Islam are considered deviant for derailing from the established track. I was particularly miserable when I was only allowed to think rationally for school lessons which are considered worldly. I was permitted to think logically and critically on Newton’s gravitational theory, Kepler’s concept of the solar system, Darwin’s evolutionary theory, the G30S/PKI communist coup attempt, Adam Smith’s theory of capitalism and others. When this rational and critical line of thought was applied to understand divine and religious values and doctrines, I was silenced. We were not allowed to question the Qur’an and Muhammad’s prophethood, or have any doubt over life after death and others (and I am sure that this is also experienced by others who claim to come from a religious environment). I could still recall an incident 6 years ago when I was in grade 5 of primary school. I asked my religious teacher, “If God is Almighty and the Supreme Creator, can God create something much larger and stronger than Himself?” What I received was not a rational answer but harsh words and was berated upon. I was indoctrinated not to question God, either His being, attributes or anything else associated with God. We must have faith in God and other supernatural forces without having to intellectually analyze, examine or criticize. I was petrified then. After the incident, I no longer dared to think sensibly or critically when it comes to religion, at least until I reached senior high school. 
My years in junior high school could be said to be the height of my fundamentalist attitude towards Islam (as the sole religion which I considered as true). It was undeniable that this was mainly attributed to the process of Islamization in my school where I had spent most of life. 
Labeling followers of Ahmadiyah, Eden Community, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, and the Liberal Islam Network as infidels; loathing Israel and the Jews; and hatred towards proponents of religious pluralism and progressive Islam such as Gus Dur, Musdah Mulia, Ulil Abshar Abdalla and Luthfi Asyaukani; were part of my radicalism (particularly due to my educational background). And I have not even touched on the influence of religious leaders and teachers who delivered sermons, and Islamic publications that I often purchased especially during Friday’s congregational prayers. From these sermons and publications, it was clearly apparent that we are being pressurized to believe in religious doctrines in a comprehensive manner without the need for commonsense. Even if there must be some degree of rationality, one must not go too far. We are permitted to use commonsense in understanding religion, but we should not step beyond the ambit agreed by religious scholars who act as though they are the keepers of Allah’s mandate. 
But I must admit that I was not particularly aware of the restrictions on the freedom to think critically about religion during my junior high years. I was only conscious of this when I was a senior high student. Particularly when I was exposed to more diverse writings and articles on Islam, either through the internet or the mass media. Only then was I aware on the restrictions imposed by a religious environment on the critical thinking of religion. I came to learn that the literal interpretation of religious texts in today’s modern age as I have personally experienced is no longer acceptable. I have begun to act critically and rationally towards religious values and texts, particularly those which I find to be dogmatic, irrational and no longer relevant to modern times. I realized the importance of being critical towards all aspects of life. And religion as a socio-anthropological fact is inextricably linked to all of these. Religion must be scientifically examined given the excessiveness of dogmas and supernatural beliefs. 
Once I have reinstated myself as a rational and critical being, I felt as if I was reborn. I have found my true identity as a rationalist. I felt liberated from the rigidity of religious doctrines. I now can make optimal use of my intelligence. I can ponder over and analyze anything which I wish to probe into without fear or worries. This sense of liberation however, was short-lived. I once again found myself caught in between rationality and spirituality. I became restless and disheartened all over again. On one hand, the spiritual side of me yearned for me to seek the truth about God in my own way, while on the other hand, my rational thoughts wished that I could leave God behind in order for me to no longer have to see, hear and feel God’s presence.
Ultimately, I discovered my own win-win solution to this dilemma. I have now managed to bring peace to both my spiritual and rational inclinations. Even though in the end I may appear to favor rationality by ignoring religion, but I have kept my faith in God (yet not a personal and literal God). I have substituted the spiritual element in me with a humanitarian outlook. God for me is embodied in humanitarian values. When I lend a hand to a street beggar or help an elderly woman cross the road, it is as if I have found what it considered to be the essential values of the concept of God itself. These essential values of a divine being I have discovered in humanity. I managed to find God in the concept of human rights. I feel as though I have discovered God whenever I am given the opportunity to assist and defend fellow human beings and humanitarian values themselves.
Nevertheless, this does not mean that I choose to aimlessly place God in all aspects of life. Consigning God to scientific knowledge for me is identical to desecrating God and science itself. Placing God into scientific laws is similar to usurping God’s transcendental values. I am indeed appreciative of Hawking’s theory on the origins of the universe without its reference to God, or Freud’s psychological theories. I can boldly say that science has no need for God or other supernatural powers to explain theories and conversely, God does not rely on scientific laws to support His existence. Science can explain on the entire breadth of natural phenomena without the need for God’s divine intervention. Science pushes us toward progress and capable of unveiling nature’s secrets without the involvement of a supernatural being. Science is always receptive to new theories which are more scientific, advanced and rational in replacement of old theories rendered outdated with developments over time. On the contrary, religion will always remain unvarying. It does not allow room for criticism, rationalization and scientific observation.
Science at all times welcomes reservations and doubts over scientific theories. But religion is entirely the opposite, it persistently closes the door to any form of hesitation over agreed upon dogmas as they are perceived to originate from an all-powerful being which cannot be refuted, not even the slightest doubt. Science is always based on empirical evidence, observations and logical analysis, while claims over religious truths are grounded on faith in everything supernatural without comprehensive empirical evidence, even when these truths have been overturned by modern scientific evidence and theories. This has stirred my interest in science. 
However critical my thoughts are on religious dogmas, this does not imply that I am against religion. I remain true to universal and humanitarians values from any religion which I apply in everyday life. I remain respectful of my relatives and friends’ faith over religion. I admit that there are numerous positive aspects to a religion which teaches humanity, peace and justice (even when a significant portion of believers fail to practice them). We must adopt universal humanitarian values wherever the source may come from. For me, all religions are true according to their own ways. A religion will always be true and be the only truthful religion when examined from the standpoint of the said religion. But I refuse to tolerate circumstances when religion becomes a tyranny that pushes aside humanitarian values. Humans can be civilized even without religion, yet many who profess to be religious have ignored humanitarian values. May I never return to the confinement of religious fundamentalism and fanaticism which I had once experienced.

Sabtu, 09 April 2011

HEGEMONI BARAT DAN RESPON ISLAM

Oleh : Anjar Nugroho

Pendahuluan
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan terjadi antara Barat dan Islam, lalu motif apa yang menyertai begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? Benturan peradaban ataukah benturan kepentingan yang sesungguhnya terjadi antara Barat dan Islam? Dan bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat?
Tesis Huntington
Sejak “serangan terorisme” menghantam dua simbol kedigdayaan AS – Pentagon dan World Trade Centre – banyak pengamat mengupas kembali teori benturan antarperadaban yang pernah dipopulerkan Samuel P. Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam.
Huntington mengajukan tesis dalam kalimat sangat tegas : ”Menurut Hipotesis saya,” katanya, “sumber utama konflik dunia baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara akan tetap menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.”
Secara lebih luas, Huntington mendasarkan pemikirannya – paling tidak – pada enam alasan yang dijadikannya sebagai premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan sangat dipengaruhi oleh benturan antar peradaban. Pertama, perbedaan peradaban tidak hanya nyata, tetapi sangat mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antarperadaban telah menimbulkan konflik paling keras dan paling lama. Kedua, dunia ini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas-identitas lokal yang telah berlangsung lama. Kecenderungan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan berlabelkan “fundamentalisme”. Keempat, dominasi peran Barat menimbulkan reaksi de-westernisasi di dunia non-Barat. Kelima, perbedaan budaya kurang bisa menyatukan, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Kelima, kesadaran peradaban bukan reason d’etre utama terbentuknya regionalisme politik atau ekonomi (Huntington, 2002:ix-x).
Dari premis-premis itu, sebelum sampai pada kesimpulan bahwa dari fakta-fakta di atas secara otomatis akan menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, Huntington melakukan dua hal; pertama, memetakan muara kultural, kecenderungan dan dinamika internal peradaban-peradaban, yaitu : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Premis di atas berimplikasi pada semakin lebarnya perbedaan antar peradaban yang akan semakin menyulitkan kompromi antar peradaban itu untuk sampai pada saling pengertian. Maka, ujung-ujungnya akan terjadi benturan antar peradaban. Namun pertanyaan kemudian, peradaban mana, vis a vis mana yang nantinya akan saling berbenturan? Ia menjawab pertanyan ini pada langkah kedua, meramalkan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa mendatang bukan diantara kedelapan peradaban tersebut, tetapi antar Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius (ibid, x).
Sejak awal, teori “benturan antarperadaban” Huntington itu banyak mengundang kritik, bahkan cibiran, daripada apresiasi. Selain karena dianggap sebagai fantasi yang fantastis, teori itu juga tidak mencerminkan semangat zaman yang menekankan aspek globalisasi dan pluralitas, toleransi dan kesetaraan.

Kelemahan Tesis Huntington

Akbar S. Ahmed (1992), salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka, adalah salah satu yang tidak sepaham dengan Huntington. Dia menyatakan bahwa benturan yang terjadi dalam sejarah dunia lebih menunjukkan faktor kepentingan ekonomi dan politik ketimbang faktor perbedaan budaya. Akbar menunjuk fenomena perang Teluk I sebagai fakta empiris peta politik yang tidak berhadap-hadapan secara diametral, Barat vis a vis Islam, tetapi lebih menunjuk kepada polarisasi kepentingan. Dalam hal ini, negara-negara Muslim seperti Kuwait, Arab Saudi, Mesir pada posisi kepentingan yang seirama dengan Amerika dan sekutunya (Barat), sehingga tidak bisa dikatakan telah terjadi benturan antara Islam dan Barat.
Kelemahan lain dalam tesis Huntington adalah kerancuan dalam mendefinisikan peradaban. Huntington menyebut tujuh atau delapan peradaban utama yang mungkin akan saling berkonfrontasi di masa yang akan datang : Barat, Cina/Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slav/Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika.
Huntington mencampuradukkan berbagai hal yang bermacam ragam, termasuk letak (Barat), ajaran (Konfusius), etnik (Slav), negara (Jepang), agama (Islam), dan benua (Afrika). Dalam hal ini, ia tidak konsisten dan tanpa definisi peradaban yang dapat diterapkan untuk menguji tesis itu.
Selain itu, sama seperti apa yang telah diungkap Akbar di atas, kesimpulan Huntington ternyata tidak menggambarkan kenyatan yang sebenarnya. Dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukan pengelompokan masyarakat dalam entitas tertinggi – yaitu pengelompokan peradaban – tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil, berdasar suku dan etnik. Hal ini terlihat jelas dari disintegrasi Uni Soviet, yang sebagian besar penduduknya memiliki dasar budaya dan peradaban yang sama. Kesamaan peradaban belum merupakan perekat cukup kuat bagi kelompok-kelompok etnik minoritas yang secara politik atau ekonomi merasa ditindas kelompok mayoritas yang berkuasa.
Benturan Antar Peradaban atau Benturan Kepentingan?
Terhadap tesis Huntington yang melihat Islam dan Barat sebagai dua peradaban yang saling berbenturan, ada banyak kalangan yang kemudian mempertanyakan : the clash of civilization or the clash of interest? Pertanyaan ini wajar adanya mengingat penelitian yang pernah dilakukan oleh Fawaz A. Gerges (2000:27-30) yang menunjukkan peta tentang polarisasi kaum intelektual di Amerika. Menurut Fawaz, kelompok intelektual Amerika sebenarnya terbagi ke dalam dua kelompok : Konfrontasionis dan akomodasionis. Kelompok pertama selalu mempersepsi Islam dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, mereka selalu menganggap Islam sebagai the black side of the world. Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan lahirnya tatanan dunia yang damai. Eksponen yang termasuk kelompok ini misalnya, Almos Perlmutter, Samuel Huntington, Gilles Kepel, dan Bernard Lewis.
Sementara kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok aposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim yang hanya sedikit jumlahnya. Diantara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulang-ulang (Fawaz, 2000:30). Sehingga mereka, meminjam istilah mantan Perdana Menteri Malaysia Datuk Mahathir Muhammad, takut dengan banyangannya sendiri.
Tesis Huntington sebenarnya bagian dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk membuat peta tata dunia baru di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman baru pasca perang dingin dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Pada sisi lain, Barat, menurut sebagian pengamat, dalam hal ini Amerika Serikat, jelas merupakan pihak yang paling merasa “diamini” secara ilmiah oleh Huntington, khususnya dalam untuk melaksanakan kebijkan-kebijakan politik luar negeri. Betapa tidak, dengan tesis benturan antar peradaban ini, Barat yang telah lama terbiasa dengan visi global dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada persaingan antar negara adidaya dalam berebut mendapatkan pengaruh dominasi global, semakin tergoda untuk mengidentifikasi ancaman ideologi global lainnya seperti Islam dan Konfusius dalam rangka mengisi “kekosongan ancaman” yang timbul pasca runtuhnya komunisme.
Bukti otentik adanya “faktor kepentingan” yang menyertai tindakan Barat (Amerika) dalam aksi-aksi politik dan militer yang menyebabkan timbulnya clash antara Barat dan beberapa negara Islam adalah fenomena Perang Teluk jidid II di Irak. Dengan dalih memerangi terorisme dengan menumbangkan kekuasan Saddam Husein yang dinilai melindungi para teroris, ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber minyak yang konon kandungannya nyaris sepadan dengan yang dipunyai Arab Saudi. Lebih dari itu, dengan runtuhnya pemerintahan Saddam di Irak, akan lebih mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di muka bumi ini yang berhak berbuat apa saja untuk melaksanakan kepentingan globalnya.
Cendekiawan terkemuka Muslim lain yang pendapatnya selaras dengan asumsi ini adalah Muhammad Abed al-Jabiri (1999:73), Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam-Arab pada Muhammad V University Maroko. Sepanjang sejarah, menurut al-Jabiri, hubungan antar peradaban tidak bersifat konfrontasi, tetapi interpenetrasi. Bahkan konfrontasi dan konflik lebih sering dan destruktif dibandingkan konfrontasi antar negara-negara dengan peradaban berbeda. Buktinya, dua kali perang dunia terjadi dalam peradaban Barat, disebabkan oleh konflik kepentingan (conflicts of interensts)
Kepentingan global Barat sesungguhnya adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.

KARAKTER PEMIKIRAN ISLAM

Oleh : Muhammad al-Khathah

Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Ini wajar, sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.

Namun perlu disadari, bahwa sekalipun pemikiran Islam berasal dari wahyu yang turun dari langit, pemikiran islam adalah diturunkan ke bumi untuk menjadi petunjuk bagi manusia di bumi. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” (Qs. az-Zumar [39]: 41).

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Qs. al-Baqarah [2]: 185).

Oleh karena itu, agar bisa memahami keberadaan pemikiran islam sebagai petunjuk amal perbuatan manusia, maka perlu dipahami karakteristik pemikiran Islam.

Pemikiran Islam mempunyai beberapa ciri khas, antara lain: bersifat komprrehensif (syumuliyah), luas, praktis (amally), dan manusiawi.

Karakter pertama: Bersifat Komperehensif

Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan dan akhlak. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, seperti perkara muamalah ekonomi dan sosial, sanksi-sanksi hukum bagi para pelanggar hukum (uqubat), politik ketatanegaraan, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:

“Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (yaitu al-Qur’an) sebagai penjelas segala sesuatu.” (Qs. an-Nahl [16]: 89).

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku.’ (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3).

Setelah memahami kedua ayat di atas seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa, ada sebagian perbuatan manusia yang tidak ada status hukumnya dalam Islam. Semua persoalan dari sejak Islam turun ke bumi 15 abad yang lalu hingga hari kiamat, semua masalah pasti tercakup dalam perkara yang dipecahkan oleh Islam. Kalau sekilas saja kita membaca buku-buku fiqih, kita akan mendapatkan bahwa masalah yang dipecahkan oleh syariah itu tidak hanya masalah ritual belaka, tapi seluruh masalah kehidupan.

Karakter kedua: Bersifat Luas

Keluasan pemikiran Islam memungkinkan Para Ulama untuk melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syari’iy dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun jenisnya, baik perbuatan ataupun benda. Dalil-dalil syariat hadir dalam bentuk gaya bahasa yang mampu mencakup perkara apa saja hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim hingga saat ini, apa dalil syariat tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syariat untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:

“Dia menundukan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semua.” (Qs. al-Jâtsiyah [45]:13).

“Suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami mengangkut keturunan mereka dalam ahtera yang penuh muatan dan kami menciptakan bagi mereka kendaraan seperti bahtera itu.” (Qs. Yâsîn [36]: 41 – 42 ).

Jika ada yang menanyakan, apakah umat Islam boleh memiliki bom atom, maka dia akan menjumpai hukum syara tentang itu, dalam firman Allah:

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (Qs. al-Anfâl [8]: 60).

Sebab, arah dari perintah Allah SWT dalam Qs. al-Anfâl [8]: 60 tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh (irhabul aduww). Kalau di masa lalu, adanya pasukan berkuda (al khail) adalah efektif untuk menakut-nakuti musuh, karena pasukan kavaleri yang ada pada waktu itu adalah pasukan berkuda. Di masa sekarang, pasukan kavaleri bisa berkendaraan panser atau yang lain. Dan untuk menakut-nakuti musuh di masa sekarang, bisa dilakukan dengan parade kapal induk, pesawat tempur supersonik yang dilengkapi dengan rudal berkepala nuklir, dan persenjataan canggih lainnya.

Karakter ketiga: Bersifat Praktis (‘Amaliy)

Hukum-hukum Islam hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Manusia tidak akan dibebani melebihi yang dia sanggupi. Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 286).

Pada sebagian besar ayat-ayat al-Quran, Allah swt telah mengaitkan amal dengan iman seperti firman Allah:

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.” (Qs. al-Ashr [103]: 1 – 3).

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amal shaleh, bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi.” (Qs. an-Nûr [24]: 55).

Pemikiran Islam telah diterapkan di tengah-tengah manusia selama 13 abad, dalam naungan negara besar di dunia, Daulah Khilafah Islamiyah. Pemikiran-pemikiran islam yang dituangkan dalam hukum syariah yang sudah pernah diterapkan adalah: hukum syariah tentang pemerintahan (nizhamul hukm fil Islam), hukum syariah tentang ekonomi (nizhamul iqtishadi fil Islam), hukum syariah tentang hubungan sosial atau aturan pergaulan pria wanita (an nizhamul ijtima’i fil Islam), hukum-hukum syariah tentang kebijakan pendidikan (siyasah at ta’lim fil Islam), hukum-hukum syariah tentang politik luar negeri negara islam (siyasah kharijiyah lid daulah al Islamiyah).

Fakta-fakta sejarah tentang penerapan kelima aspek di atas tak bisa dibantah. Alkisah di dalam diskusi di Harvard University ada seorang cendekiawan Indonesia pernah mengatakan bahwa negara Khilafah itu sesungguhnya tidak ada. Maka seorang cendekiawan muslim dari Turki yang menjadi dosen di universitas bergengsi di AS itu bertanya: Lalu negara apa yang diumumkan pembubarannya oleh Kamal At Taturk pada tahun 1924 yang lalu itu?

Karakter Keempat: Bersifat Manusiawi

Islam menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi ras atau warna kulitnya. Firman Allah swt:

“Hai manusia beribadahlah kepada Tuhan kalian….” (Qs. al-Baqarah [2]: 21).

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua’.” (Qs. al-A’râf [7]: 158).

“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya kami telah menjadikan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami telah menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal’.” (Qs. al-Hujurât [49]: 13).

Rasulullah bersabda:

“Aku diutus untuk orang-orang yang berkulit merah maupun berkulit hitam.”

Orang-orang selain orang Arab pun telah beriman pada agama ini, seperti Persia, Romawi, Asia Tengah, India, Indonesia dan sebagainya. Demikianlah, Islam telah mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya hidayah, dari keterpurukan menuju kebangkitan.

KARAKTER PEMIKIRAN ISLAM

Oleh : Muhammad al-Khathah

Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Ini wajar, sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.

Namun perlu disadari, bahwa sekalipun pemikiran Islam berasal dari wahyu yang turun dari langit, pemikiran islam adalah diturunkan ke bumi untuk menjadi petunjuk bagi manusia di bumi. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” (Qs. az-Zumar [39]: 41).

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Qs. al-Baqarah [2]: 185).

Oleh karena itu, agar bisa memahami keberadaan pemikiran islam sebagai petunjuk amal perbuatan manusia, maka perlu dipahami karakteristik pemikiran Islam.

Pemikiran Islam mempunyai beberapa ciri khas, antara lain: bersifat komprrehensif (syumuliyah), luas, praktis (amally), dan manusiawi.

Karakter pertama: Bersifat Komperehensif

Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan dan akhlak. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, seperti perkara muamalah ekonomi dan sosial, sanksi-sanksi hukum bagi para pelanggar hukum (uqubat), politik ketatanegaraan, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:

“Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (yaitu al-Qur’an) sebagai penjelas segala sesuatu.” (Qs. an-Nahl [16]: 89).

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku.’ (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3).

Setelah memahami kedua ayat di atas seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa, ada sebagian perbuatan manusia yang tidak ada status hukumnya dalam Islam. Semua persoalan dari sejak Islam turun ke bumi 15 abad yang lalu hingga hari kiamat, semua masalah pasti tercakup dalam perkara yang dipecahkan oleh Islam. Kalau sekilas saja kita membaca buku-buku fiqih, kita akan mendapatkan bahwa masalah yang dipecahkan oleh syariah itu tidak hanya masalah ritual belaka, tapi seluruh masalah kehidupan.

Karakter kedua: Bersifat Luas

Keluasan pemikiran Islam memungkinkan Para Ulama untuk melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syari’iy dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun jenisnya, baik perbuatan ataupun benda. Dalil-dalil syariat hadir dalam bentuk gaya bahasa yang mampu mencakup perkara apa saja hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim hingga saat ini, apa dalil syariat tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syariat untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:

“Dia menundukan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semua.” (Qs. al-Jâtsiyah [45]:13).

“Suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami mengangkut keturunan mereka dalam ahtera yang penuh muatan dan kami menciptakan bagi mereka kendaraan seperti bahtera itu.” (Qs. Yâsîn [36]: 41 – 42 ).

Jika ada yang menanyakan, apakah umat Islam boleh memiliki bom atom, maka dia akan menjumpai hukum syara tentang itu, dalam firman Allah:

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (Qs. al-Anfâl [8]: 60).

Sebab, arah dari perintah Allah SWT dalam Qs. al-Anfâl [8]: 60 tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh (irhabul aduww). Kalau di masa lalu, adanya pasukan berkuda (al khail) adalah efektif untuk menakut-nakuti musuh, karena pasukan kavaleri yang ada pada waktu itu adalah pasukan berkuda. Di masa sekarang, pasukan kavaleri bisa berkendaraan panser atau yang lain. Dan untuk menakut-nakuti musuh di masa sekarang, bisa dilakukan dengan parade kapal induk, pesawat tempur supersonik yang dilengkapi dengan rudal berkepala nuklir, dan persenjataan canggih lainnya.

Karakter ketiga: Bersifat Praktis (‘Amaliy)

Hukum-hukum Islam hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Manusia tidak akan dibebani melebihi yang dia sanggupi. Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 286).

Pada sebagian besar ayat-ayat al-Quran, Allah swt telah mengaitkan amal dengan iman seperti firman Allah:

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.” (Qs. al-Ashr [103]: 1 – 3).

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amal shaleh, bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi.” (Qs. an-Nûr [24]: 55).

Pemikiran Islam telah diterapkan di tengah-tengah manusia selama 13 abad, dalam naungan negara besar di dunia, Daulah Khilafah Islamiyah. Pemikiran-pemikiran islam yang dituangkan dalam hukum syariah yang sudah pernah diterapkan adalah: hukum syariah tentang pemerintahan (nizhamul hukm fil Islam), hukum syariah tentang ekonomi (nizhamul iqtishadi fil Islam), hukum syariah tentang hubungan sosial atau aturan pergaulan pria wanita (an nizhamul ijtima’i fil Islam), hukum-hukum syariah tentang kebijakan pendidikan (siyasah at ta’lim fil Islam), hukum-hukum syariah tentang politik luar negeri negara islam (siyasah kharijiyah lid daulah al Islamiyah).

Fakta-fakta sejarah tentang penerapan kelima aspek di atas tak bisa dibantah. Alkisah di dalam diskusi di Harvard University ada seorang cendekiawan Indonesia pernah mengatakan bahwa negara Khilafah itu sesungguhnya tidak ada. Maka seorang cendekiawan muslim dari Turki yang menjadi dosen di universitas bergengsi di AS itu bertanya: Lalu negara apa yang diumumkan pembubarannya oleh Kamal At Taturk pada tahun 1924 yang lalu itu?

Karakter Keempat: Bersifat Manusiawi

Islam menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi ras atau warna kulitnya. Firman Allah swt:

“Hai manusia beribadahlah kepada Tuhan kalian….” (Qs. al-Baqarah [2]: 21).

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua’.” (Qs. al-A’râf [7]: 158).

“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya kami telah menjadikan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami telah menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal’.” (Qs. al-Hujurât [49]: 13).

Rasulullah bersabda:

“Aku diutus untuk orang-orang yang berkulit merah maupun berkulit hitam.”

Orang-orang selain orang Arab pun telah beriman pada agama ini, seperti Persia, Romawi, Asia Tengah, India, Indonesia dan sebagainya. Demikianlah, Islam telah mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya hidayah, dari keterpurukan menuju kebangkitan.

KARAKTER PEMIKIRAN ISLAM

Oleh : Muhammad al-Khathah

Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Ini wajar, sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.

Namun perlu disadari, bahwa sekalipun pemikiran Islam berasal dari wahyu yang turun dari langit, pemikiran islam adalah diturunkan ke bumi untuk menjadi petunjuk bagi manusia di bumi. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” (Qs. az-Zumar [39]: 41).

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Qs. al-Baqarah [2]: 185).

Oleh karena itu, agar bisa memahami keberadaan pemikiran islam sebagai petunjuk amal perbuatan manusia, maka perlu dipahami karakteristik pemikiran Islam.

Pemikiran Islam mempunyai beberapa ciri khas, antara lain: bersifat komprrehensif (syumuliyah), luas, praktis (amally), dan manusiawi.

Karakter pertama: Bersifat Komperehensif

Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan dan akhlak. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlak. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, seperti perkara muamalah ekonomi dan sosial, sanksi-sanksi hukum bagi para pelanggar hukum (uqubat), politik ketatanegaraan, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:

“Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (yaitu al-Qur’an) sebagai penjelas segala sesuatu.” (Qs. an-Nahl [16]: 89).

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku.’ (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3).

Setelah memahami kedua ayat di atas seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa, ada sebagian perbuatan manusia yang tidak ada status hukumnya dalam Islam. Semua persoalan dari sejak Islam turun ke bumi 15 abad yang lalu hingga hari kiamat, semua masalah pasti tercakup dalam perkara yang dipecahkan oleh Islam. Kalau sekilas saja kita membaca buku-buku fiqih, kita akan mendapatkan bahwa masalah yang dipecahkan oleh syariah itu tidak hanya masalah ritual belaka, tapi seluruh masalah kehidupan.

Karakter kedua: Bersifat Luas

Keluasan pemikiran Islam memungkinkan Para Ulama untuk melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syari’iy dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun jenisnya, baik perbuatan ataupun benda. Dalil-dalil syariat hadir dalam bentuk gaya bahasa yang mampu mencakup perkara apa saja hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim hingga saat ini, apa dalil syariat tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syariat untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:

“Dia menundukan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semua.” (Qs. al-Jâtsiyah [45]:13).

“Suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami mengangkut keturunan mereka dalam ahtera yang penuh muatan dan kami menciptakan bagi mereka kendaraan seperti bahtera itu.” (Qs. Yâsîn [36]: 41 – 42 ).

Jika ada yang menanyakan, apakah umat Islam boleh memiliki bom atom, maka dia akan menjumpai hukum syara tentang itu, dalam firman Allah:

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (Qs. al-Anfâl [8]: 60).

Sebab, arah dari perintah Allah SWT dalam Qs. al-Anfâl [8]: 60 tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh (irhabul aduww). Kalau di masa lalu, adanya pasukan berkuda (al khail) adalah efektif untuk menakut-nakuti musuh, karena pasukan kavaleri yang ada pada waktu itu adalah pasukan berkuda. Di masa sekarang, pasukan kavaleri bisa berkendaraan panser atau yang lain. Dan untuk menakut-nakuti musuh di masa sekarang, bisa dilakukan dengan parade kapal induk, pesawat tempur supersonik yang dilengkapi dengan rudal berkepala nuklir, dan persenjataan canggih lainnya.

Karakter ketiga: Bersifat Praktis (‘Amaliy)

Hukum-hukum Islam hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Manusia tidak akan dibebani melebihi yang dia sanggupi. Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 286).

Pada sebagian besar ayat-ayat al-Quran, Allah swt telah mengaitkan amal dengan iman seperti firman Allah:

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.” (Qs. al-Ashr [103]: 1 – 3).

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amal shaleh, bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi.” (Qs. an-Nûr [24]: 55).

Pemikiran Islam telah diterapkan di tengah-tengah manusia selama 13 abad, dalam naungan negara besar di dunia, Daulah Khilafah Islamiyah. Pemikiran-pemikiran islam yang dituangkan dalam hukum syariah yang sudah pernah diterapkan adalah: hukum syariah tentang pemerintahan (nizhamul hukm fil Islam), hukum syariah tentang ekonomi (nizhamul iqtishadi fil Islam), hukum syariah tentang hubungan sosial atau aturan pergaulan pria wanita (an nizhamul ijtima’i fil Islam), hukum-hukum syariah tentang kebijakan pendidikan (siyasah at ta’lim fil Islam), hukum-hukum syariah tentang politik luar negeri negara islam (siyasah kharijiyah lid daulah al Islamiyah).

Fakta-fakta sejarah tentang penerapan kelima aspek di atas tak bisa dibantah. Alkisah di dalam diskusi di Harvard University ada seorang cendekiawan Indonesia pernah mengatakan bahwa negara Khilafah itu sesungguhnya tidak ada. Maka seorang cendekiawan muslim dari Turki yang menjadi dosen di universitas bergengsi di AS itu bertanya: Lalu negara apa yang diumumkan pembubarannya oleh Kamal At Taturk pada tahun 1924 yang lalu itu?

Karakter Keempat: Bersifat Manusiawi

Islam menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi ras atau warna kulitnya. Firman Allah swt:

“Hai manusia beribadahlah kepada Tuhan kalian….” (Qs. al-Baqarah [2]: 21).

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua’.” (Qs. al-A’râf [7]: 158).

“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya kami telah menjadikan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan kami telah menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal’.” (Qs. al-Hujurât [49]: 13).

Rasulullah bersabda:

“Aku diutus untuk orang-orang yang berkulit merah maupun berkulit hitam.”

Orang-orang selain orang Arab pun telah beriman pada agama ini, seperti Persia, Romawi, Asia Tengah, India, Indonesia dan sebagainya. Demikianlah, Islam telah mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya hidayah, dari keterpurukan menuju kebangkitan.

ALQURAN FIRMAN TUHAN? (Sebuah model dialog Islam-Kristen)

oleh Hans Kung  
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat


Al-Qur'an lebih dari sekedar tradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah firman yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui keberadaannya yang direkam lewat tulisan, al-Qur'an memelihara suatu kekokohan luar biasa, kendati ada perubahan dan keanekaragaman sejarah Islam dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya tertulis. Meskipun terdapat penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda, meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam, syari'ah, al-Qur'an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator), sesuatu seperti "benang hijau" Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam historis maupun Islam normatif, tidak dapat mengelak untuk kembali pada asalnya, yaitu al-Qur'an abad ke-7.

Meski al-Qur'an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu) perkembangan Islam, ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam. Ia memasuki seluruh syari'ah, mencetak sistem legal (hukum) dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi, tapi al-Qur'an tetap utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam Islam di antara variabel-variabel lain yang tak terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, di samping ajaran-ajaran abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu al-Qur'an adalah Kitab Suci Islam yang, sebagaimana dipahami dari bentuk tertulisnya, bukan firman manusia, melainkan firman Tuhan. Bagi orang-orang Muslim, oleh sebab itu, firman Tuhan dituliskan dalam sebuah kitab. Pertanyaan kita, betapa pun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?

Selama berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan perpecahan-perpecahan politik yang tajam di antara bangsa-banga di dunia, dari abad-abad pertama penaklukan Islam hingga Perang Salib dan perebutan Konstantinopel, hingga pengepungan Vienna dan revolusi Persia di bawah komando Khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika Barat sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa al-Qur'an adalah firman Tuhan dan mengorientasikan hidup serta mati mereka sesuai dengan al-Qur'an, orang-orang Kristen seluruh dunia mengatakan "tidak". Malah bukan saja orang-orang Kristen, melainkan juga kemudian para sarjana agama Barat yang sekular, yang menganggap pasti bahwa al-Qur'an bukan firman Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.

Pada tahun 1962, seorang sarjana agama berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith, menjadi orang pertama yang mengajukan pertanyaan tersebut di atas secara tajam, yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk pertanyaan itu sendiri.3 Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua jawaban yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang cerdas, kritis dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra-keyakinan dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman (kata orang-orang Muslim kepada orang-orang Kristen yang menolak al-Qur'an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang Kristen kepada orang-orang Muslim yang membenarkan al-Qur'an sebagai firman Tuhan).

Lalu, tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada, Willard Oxtoby, dalam menyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa "you get out what you put in" (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)? Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap al-Qur'an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur'an, dan juga sebaliknya?

Tetapi dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa panjang hal tersebut sangat tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi pertambahan jumlah dari orang-orang Kristen dan bahkan mungkin orang-orang Muslim yang kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai keimanan serta posisi orang lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan dengan kedua posisi di atas:

a. Penyangsian kritis-diri terhadap pemahaman Kristen tentang wahyu. Bersamaan dengan semua pernyataan negatif mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non-Kristen berikut seluruh seruan untuk bertobat, tidakkah juga kita dapatkan banyak pernyataan positif yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh manusia? Sungguh, menurut Perjanjian Lama dan Baru, orang-orang non-Kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.

Dengan memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dalam penciptaan, dan semuanya ini pun melibatkan rahmat Tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu juga, dalam ikatan agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus, diberi tugas khusus, karisma khusus? Dan dengan memperhatikan semua yang telah kita katakan, tidakkah hal itu semua bisa terjadi terhadap Muhammad, Sang Nabi? Extra ecclesiam gratia --ada juga rahmat di luar Gereja. Kalaulah memang begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang nabi, maka agar konsisten kita pun harus mengakui bahwa bagi orang-orang Muslim segala sesuatu tergantung pada pesan Muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan firmannya sendiri, tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan Firman Tuhan dan dengan wahyu?

b. Penyangsian kritis terhadap penafsiran Islam tentang al-Qur'an. Apakah wahyu seperti yang sudah diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim meyakini hal ini, melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam hubungan dengan Bibel. Di sini kita telah sampai pada persoalan yang penting sekali.

Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman). Jadi al-Qur'an menyodorkan problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada pertanyaan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apabila kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel (untuk kepentingan keimanan Biblikal kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis terhadap al-Qur'an, dan hal itu untuk kepentingan keimanan Muslim yang cocok bagi masa modern? Ketimbang menafsirkan al-Qur'an sebagai sebuah kumpulan peribahasa yang tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada) dengan sangat merendahkan diri harus direproduksi dan secara harfiah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur'an sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan Penyempurna, dan terhadap pengadilan serta janji-Nya?

Bagaimanapun juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan hermeneutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis, akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian antara Islam dan Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang Yahudi juga termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi Konsili Vatikan Kedua tentang agama-agama non-Kristen.
D. Apa Unsur-unsur Sama yang Utama?

Hal-hal yang sama di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dapat diringkas dalam empat aspek:

a. Hal sama yang mendasar di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terletak dalam keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang ditegakkan sejak masa "Adam". Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di muka Tuhan didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apa pun yang mungkin dikatakan menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya Tuhan, tetapi untuk memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti bahwa dalam menghadapi politeisme kafir, Yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini menghadapi banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama Panteon jauh sebelum Islam.

b. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim menyimpan kesamaan pandangan dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan, sebagaimana diyakini orang-orang Yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam, dasar dari segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai Pencipta dunia dan manusia dalam sejarah, Tuhan Yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para nabi dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden, tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih dekat daripada "urat nadi," begitu kata perumpamaan plastik al-Qur'an, yang kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisisme Islam.

c. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim adalah satu pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang --meskipun Ia gaib, mengatur dan menguasai segala sesuatu-- adalah partner yang dapat didekati. Dia dapat disapa saat shalat dan meditasi, dipuji dalam senang dan rasa syukur, tempat mengadu dalam keadaan perlu dan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang "bersimpuh di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum", "berdo'a dan berkurban", "bermusik dan berjoget", mengutip kata-kata berorientasi masa depan Martin Heidegger.

d. Akhirnya, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan ramah, Tuhan yang menjaga manusia. Dalam al-Qur'an sebagaimana dalam Bibel, manusia dipandang sebagai "hamba Tuhan," yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang elementer dalam meresponsi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rahman, "Yang Maha Pengasih", secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (Hebrew, Yahudi) rahamim yang, bersama dengan hen dan hosed menjelaskan bidang semantik bagi kata charis dalam Perjanjian Baru, dan kata Inggris grace (gnade dalam bahasa jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur'an, Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga, namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur'an, Tuhan adalah Tuhan pengasih dan pemurah.

Bersama-sama di dunia ini, Yahudi, Kristen dan Islam dengan demikian mencerminkan keimanan kepada satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan dunia monoteistik yang besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap sepele; harus dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan peran dalam perjanjian Camp David, tentunya ia pun penting untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur Tengah. Maka jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoalan-persoalan mengenai Yesus dari Nazareth, Kristus orang-orang Kristen.
E. Apakah Penggambaran al-Qur'an tentang Yesus Tepat?

Sangat masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal al-Qur'an membicarakan Yesus dari Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika seseorang memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara Kristen dan Islam. Bagaimana kita bisa menilai bagian-bagian ini secara teologis? Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap "teks-teks al-Qur'an yang relevan dengan Kristen", yang diterjemah-ulang dan dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus, menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan dengan Yesus di dalam al-Qur'an terintegrasi (terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur'an. Dari tradisi apa pun kesaksian tentang Yesus ini berasal --dan kita akan menjelaskannya lebih dekat lagi-- seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalaman profetik hebat Muhammad dengan Tuhan Yang Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus: Seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan mu'jizat-mu'jizat diakui al-Qur'an tanpa iri hati, dengan satu pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi tuhan, dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu yang paling dibenci.

Posisi Yesus dalam al-Qur'an tidak ambigius (tidak meragukan). Dialog oleh karenanya tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini yang lebih menafsirkan al-Qur'an ketimbang apa yang dikandungnya, yang mengklaim bahwa dalam al-Qur'an Yesus adalah firman Tuhan. Tetapi bukan Firman Tuhan dalam pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenal virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dalam al-Qur'an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur'an Yesus adalah seorang nabi, seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Mus a --tetapi tentu saja tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis seperti diterangkan dalam Perjanjian Baru, Yohanes (Yahya) sang Pembaptis adalah pendahulu (pratanda) Yesus, begitupun dalam al-Qur'an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad. Menurut al-Qur'an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin birth tersebut), tak seperti Muhammad. Yesus adalah, oleh karena itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.

Karena alasan ini, orang-orang Kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat "orang-orang Kristen anonim" dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaimana beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim tentang diri mereka sendiri, sekali-sekali berusaha melakukan itu. Pada gilirannya hal ini akan dengan segera memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus menciptakan "seorang Muslim anonim" dari Kristus. Apabila kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad berdasarkan sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur'an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam untuk memulai penilaian kembali Yesus dari Nazareth berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarkan Injil-Injil itu sendiri-sebagaimana yang telah dilakukan banyak orang dalam Yahudi. Potret Yesus dalam al-Qur'an terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang mu'jizat-mu'jizat. Pokoknya, ini berbeda sekali dengan potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum, seperti direkam al-Qur'an, tetapi cenderung menentang seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun Qur'an gagal mengakui hal ini. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus dan Muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal-hal ini. Walau begitu, hambatan teologis utama terhadap sebuah pemahaman tidaklah untuk ditemukan di sini.
F. Apa Perbedaan Teologis Utama?

Perhatian utama Yesus sendiri adalah mengatasi legalisme dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan mengingat kedatangan Kerajaan (Tuhan). Bagi gereja Kristen, perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar kepada pribadi Yesus dan hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara Kristen dan Islam kemudian tetap sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang keberatan Kristen terhadap Islam terletak pada bantahan Islam terhadap dua doktrin utama Kristen yang saling berkelindan: Trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, al-Qur'an berbicara kepada orang-orang Kristen sebagai berikut:

Wahai Ahl al-Kitab, janganlah kamu melampaui batas-batas agamamu. jangan katakan apa-apa tentang Allah kecuali yang benar. Al-Masih, Yesus putra Maria, tidak lebih dari rasul Allah dan Firman-Nya yang Dia sampaikan kepada Maria: ruh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan jangan katakan (tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu). Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai seorang anak. (Q.S. al-Nisa/4: 171)

Apakah kenyatannya kita di sini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki faktor-faktor yang sama dalam memahami Tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran di dalam pernyataan apologis-apologis Kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog Muslim selalu keliru menafsirkan doktrin Kristen tentang Trinitas (tiga dalam satu) sebagai doktrin triteisme (tiga tuhan). (Al-Qur'an memang memuat tradisi yang keliru, boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisan yang diragukan pengarangnya) tertentu, bahwa Trinitas terdiri dari Tuhan Bapak, Maria Ibu Tuhan, dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang Muslim semata-mata tidak dapat memahami apa yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa kalau ada satu Ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan melepaskan keimanan pada satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh Musa, Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa ada pula perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam Tuhan?

Jelas bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin Kristen tentang Trinitas tidak memuaskan orang Muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syria, Yunani dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang Muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaimana mungkin satu dan satu-satunya Tuhan, tanya orang Muslim, menjadi suatu pencampuran hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi dan relasi-relasi? Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang tidak digabung dengan cara begini atau begitu?

Menurut al-Qur'an, "orang-orang tidak beriman adalah mereka yang mengatakan, Allah adalah salah satu dari tiga (atau berfaset-tiga dalam trinitas)." Pandangan ini, yang mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak dengan pernyataan, "Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa". (Q., s. al-Maidah/5:73).
Catatan kaki:

3 Wilfred Cantwell Smith, "Is the Qur'an the Word of God?," dalam Questions of Religious Truth (New York: Charies Schribner's Sons; and London: V. Gollanez Ltd.,1967).


Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174 

disunting dari : http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Jurnal/index.html