A. Latar Belakang
Kalangan muslim spanyol telah menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan (mediavelis) di eropa. Antara pertengahan abad ke-8 dan ke-13. Orang-orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu mereka juga merupakan wasilah perantaraan yang menghubungkan ilmu dan filsafat Yunani klasik sehingga khazanah kuno itu di temukan kembali. Tak hanya menjadi mediator mereka juga memberikan beberapa penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat.
Dalam semua proses tersebut bangsa arab-spanyol mempunyai andil yang sangat besar. Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan di akui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu thufail yang merupakan tokoh filosuf muslim neo-platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti muwahhidun.
Dari diskursus di atas, penulis ingin mengemukakan makalah dengan judul “Ibnu Thufail: Hayy bin Yaqzan”.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana riwayat hidup Ibnu Thufail?
- Bagaimana risalah Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan?
- Bagaimana filsafat Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan?
C. Tujuan Masalah
- Untuk Mengetahui riwayat hidup Ibnu Thufail?
- Untuk mengetahui risalah Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan
- Untuk mengetahui filsafat Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Namanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada qobilah Qais yang yang merupakan qobilah termasyhur pada saat itu. Ia dilahirkan di Guadix (Arab: Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, beliau diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab: Thanjah) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M –580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.
Kemudian beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah menginjak tua. Kedudukannya digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Namun dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga tidak banyak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzan yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
Budaya seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang di andalus. Tokoh-tokoh besar Islam juga banyak yang lahir di sana, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian yang berkembang disana. Seperti yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut telah berhasil membangun tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berfikir demonstratif (nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti syari’ah, mistis (tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini mengalami pasang-surutmengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang berkuasa.
Pada masa pemerintahan al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid Billah, keberlangsungan filsafat sempat tersendat. Karena dia lebih cenderung kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatan sesat. Namun setelah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580H) filsafat mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tapi hanya dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah Ibnu thufail terus menggali keilmuannya, sehinnga lahir karyanya “Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa symbol dalam karyanya tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan masyarakat akan mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup
Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif ibnu thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang di beri nama hayy bin yaqzan, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek tuhan, atau dikenal juga sebagai Asraar al-Falsafah al-Isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi) dan hasil karyanya ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni Vico Dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail, pada masa selanjutnya karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. yang di dasarkan pada edisi bahasa latin diantaranya adalah Simon Ockley yang menerjemahkanya dalam bahasa inggris: The Improvement of Human Reason (1708) kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The History of Hayyy ibn Yaqzan (1926) dan diterjemahkan pula oleh Leon Gauthier ke dalam bahasa prancis di sertai dengan teks arabnya Hayy Ben Yaqzan Roman Philosophique d’ibn Thofail di samping kemudian telah di terjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan lain lain. Karya ibn Thufail meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hay bin Yaqzan, merupakan inti sari pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
B. Ringkasan Hayy bin Yaqzan
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni dengan nama Hayy bin Yaqzan yang kemudian hari diambil anak angkat oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun Hayy bin Yaqzan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut karena berbeda dengan dirinya hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya hal tersebut membuat Hayy bin Yaqzan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
Suatu ketika kijang tersebut mati, Hayy berfikir mengapa kijang tersebut mati, kemudian hal itu mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang di seliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku maka hayy bin yaqzan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir. Pada suatu hari Hayy bin Yaqzan menyalakan api di pulau tersebut maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas tidak cukup dengan itu ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dan Hayy bin Yaqzan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan dan yang dimaksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” (haadist) yang berarti di dahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo), dan setiap yang baru mengharuskan adanya yang mengadakannya, dan hipotesa ini akhirnya membawa Hayy bin Yaqzan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian Hay bin Yaqzan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulamg-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang, tidak cukup dengan itu Hayy bin Yaqzan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah sesuatu yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaannya maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna (The perfect one) lagi kekal (Eternal) dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayyy bin yaqzan pada umurnya yang ke 35 tahun, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
Di pulau yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Terdapat dua orang, Asal dan Salaman namanya, yang menonjol dari Salaman karena pemahamannya tentang agama, ia cenderung untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan secara rohani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni, dimana Hay menetap. Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantara keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci yang disampaikan Nabinya. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.
Asal juga menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari kekayaan dan pemuasan kesenangan sehingga menimbulkan kesombongan.
Akhirnya Hayy dan Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat rohani dan mistik itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut. Kemampuan mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik. Kebenaran keagamaan bagi orang awam bersifat harfiah dan eksternal sedangkan perenungan tentang kebenaran hanya bisa didapat oleh orang yang istimewa saja dan melalui proses pengalaman. Orang istimewa tersebut lebih unggul dari orang awam sehingga mereka lebih banyak mendapat karunia Tuhan.
C. Filsafat Ibnu Thufail
a. Tahapan-Tahapan Pemikiran dalam Hay ibn Yaqzhan
1. Tahap pengetahuan empiris
Setelah mencoba memaparkan secara ringkas kisah di atas, penulis dapat membaginya dalam tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn yaqzhan yang diawali dengan perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup, hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu, dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya. Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Ibnu Bajjah sebagai filsuf rasional murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
2. Tahap pengaetahuan rasionalis
Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar sifat yang diadakan.
3. Tahap mistis—tasawuf
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hay ibn yaqzhan sampai disini mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja. Sebagaimana ia tidak puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti disitu.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hay mengetahui adanya kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda yang ada di langit. Esensi-esensi dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas. Karena ketak terbatasan-Nya itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang beragam ini. Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.
b. Harmonisasi Agama dan Filsafat
Dalam karya Ibnu Thufail “Hayy Ibnu Yaqzhan” juga terdapat pemikirannya, dimana ia ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara agama dan filsafat intuitifnya. Dua disiplin yang sering kali dipertentangkan oleh para sarjana hingga kini. Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hayy ibn Yaqzhan bertemu dengan Absal, orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam makna esoterisnya.
Dalam kehidupan Absal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan masyarakat hanya dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar kehidupan mereka didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Absal mempunyai keyakinan kuat bahwa agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wil nya. Agar masyarakat tidak terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu penting pemahaman antara keduanya. Filsafat merupakan suatu pemahaman akal secara murni atas kebenaran dalam kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, serta tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Agama melukiskan dunia atas dengan lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan, dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah difahami oleh orang lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan moralitas.
Filsafat yang menggunakan persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya, dapat menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.
Seperti pendapat Sohier el-Kalamawy dan Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail bertujuan perenungan yang murni rasional dan iman yang sejati merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama, dan keduanya dapat membawa manusia dekat dengan Tuhan dan bersatu secara mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya harus dipelajari dan dipahami secara bersamaan.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga meliputi:
a. Indrawi, yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa , bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio.
b. Akal atau rasio, yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek (mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat membantu anda memahami konsep ini) selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang dipahaminya dan diamati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi, akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi (hati).
c. Intuisi atau hati, yang menurut Ibnu Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah an-nafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering dicapai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian.
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja, dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khawash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik--kasyaf dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
Dari ringkasan isi cerita tersebut dan dari rumusan-rumusan dibalik cerita tersebut, sebenarnya Ibnu Thufail hendak mengemukakan kebenaran-kebeneran berikut ini seperti yang disimpulkan oleh Nadhim al-Jisr dalam buku Qissat al-Iman:
- Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi yang husus sampai kepada pikiran-pikiran universal
- Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhlukNya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
- Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mamapuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azalian mutlak, zaman, qadim, hudus, dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
- Apa yang disyariatkan agama Islam, dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi.
- Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh Syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran rahasia-rahasia filsafat kepada mereka.
- Ibnu Thufail dalam kisahnya itu juga membuktikan tentang tidak adanya perlawanan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama. Semuanya adalah sama dan sesuai satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Dari rangkaian penjelasan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa Karya Hayy Ibn Yaqzhan adalah karya alegori falsafah bercorak kesufian atau alegori sufi bercorak falsafah. Karya ini merupakan refleksi perjalanan intelektual dan spiritualitasnya. Dan merupakan hasil penafsiran kritisnya terhadap apa yang di tulis Ibnu Shina, sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimah. Tapi Ibnu Thufail tidak kehilangan orisinalitasnya dan mampu membuat pokok pemikiran yang berbeda.
- Ibnu Thufail dengan Karyanya alegorisnya, Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh Ibnu Bajjah melalui teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil menempuh jalan itu. Setelah menelaah karyanya itu, penulis dapatkan struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus, yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al-‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis (kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasia-rahasia filsafat Timur.
- Berkat kepiawaiannya dalam menghadirkan suatu novel dengan bahasa yang sederhana namun mempunyai nilai sastra yang tinggi, Ibnu Thufail sebagai filosof, sastara maupun agamawan disegani oleh para pemikir dan sastrawan dunia yang terilhami oleh karyanya. Karya itu sampai sekarang masih menarik untuk digali dan dikaji. Karena banyak aspek-aspek yang terkandung didalamnya, seperti falsafah, sastra, tasawuf dan masih banyak lagi. Yang tidak dapat penulis tela’ah semua. Oleh karena itu sebagai akademisi kita harus terus mengkaji khazanah pemikiran Islam yang juga terdapat pada sastrawan atau filosof lain selain Ibnu Thufail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar